Rabu, 06 Juli 2011

”Dengan Pena Kita Berjuang”

Mengutip Fakhrurrazi, Hamka mengatakan bahwa para malaikat melahirkan sebuah “dakwah bil qalam.” Hal ini digambarkan dalam Al-Qur‟an surat Al-Infithar mulai ayat 10, 11, dan 12. di ayat itu, disebutkan tentang malaikat-malaikat mulia yang ditugaskan Allah untuk menuliskan amalan manusia dan memeliharanya. Malaikat itu mengetahui apa yang dikerjakan oleh manusia di dunia ini. Di dalam surat Al-Jatsiyah ayat 29 Allah berfirman, ”Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan kepadamu dengan sebenarnya. Sesungguhnya Kami menyuruh (kalian) apa-apa yang telah kalian kerjakan.”
Menurut Suf Kasman, ayat di ataslah yang kemudian membuat nabi Sulaiman mempelopori “dakwah bilqalam” sebagaimana ditulis al-Maraghi dalam tafsirnya bahwa surat Sulaiman merupakan surat bercorak dakah yang pertama kali dimulai dengan kalimat, “Bismillahirrahmanirrahim.” Sedangkan menurut KH. Ali Yafie, dakwah bilqalam pada dasarnya adalah, “Menyampaikan informasi tentang Allah, tentang alam, makhluk-makhluk dan tentang hari akhir/ nilai keabadian hidup. Dakwah model ini merupakan dakwah tertulis lewat media cetak.”
Jadi, dakwah bilqalam bisa dilakukan oleh kita semua. Kita bisa berdakwah lewat menulis di media cetak, buku, majalah, koran, selebara, pamflet bahkan sms yang isinya dakwah. Yang paling penting dalam dakwah lewat tulisan ini adalah materi (content) yang akan kita sampaikan sesuai dengan kaidah Islam—namun juga tetap mengandung unsur seni tulisan yang indah dibaca dan menarik.


Mengapa Harus dengan Pena?
1. Tulisan adalah amal jariyah yang abadi
Dalam sebuah hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muislim dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‟Alaihi Wasallam bersabda, ”Apabila meninggal anak cucu Adam, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.” Tulisan dakwah adalah termasuk dalam kategori ilmu yang bermanfaat yang pahalanya senantiasa mengalir terus menerus walau jasad kita telah habis dimakan cacing tanah.
2. Pesannya lebih meluas
Sebuah tulisan yang kita buat akan bisa dibaca oleh banyak manusia. Contoh jika kita menulis sebuah tulisan dan di-posting di intenet. Banyak orang yang mengaksesnya dari seluruh dunia. Maka, tulisan itu akan tersebar ke banyak penjuru dan kepala, bahkan jika disebarkan, maka jangkauan tulisan itu yang ditulis di Indonesia akan meng-internasional dan banyak orang bisa mengambil hikmah dari tulisan itu.
3. Dapat dilakukan dalam kondisi apapun
Apapun profesi kita, kita tetap punya peluang untuk menulis atau jadi penulis profesional. Tidak seperti profesi dokter misalkan yang hanya bisa diperoleh setelah melewati berbagai macam pendidikan di kampus. Walau tidak bersekolah kita tetap bisa menjadi seorang penulis. Di ujung pulau yang terpencil sekalipun kita tetap bisa menulis. kita bisa menulis dalam kondisi apapun: di kamar, mobil, kereta api, kapal laut, pesawat, kampus, sekolah, kantor, masjid, aula, bahkan di hutan atau saat mendaki gunung!
4. Lebih berkesan
Kita telah biasa berdialog, namun kita lebih suka lupa apa yang pernah kita dialogkan. Berbeda dengan itu, tulisan punya kesan yang lebih ketimbang dialog. Pembicaraan lewat dialog itu sudah hal yang biasa, yang sudah kita lakukan sejak kita kecil. Jadi, hal itu boleh dikatakan tidak terlalu berkesan karena kita sudah biasa melakukannya. Akan tetapi tulisan, sesuatu yang jarang kita lakukan akan punya kesan yang sangat mendalam dalam diri kita.
Kartu selamat hari raya misalkan, walau singkat ditulis, akan tetapi maknanya sangat besar bagi orang yang mendapatkanya. Ada perhatian yang tulus dari orang lain kepada diri kita. Walau juga tidak bisa kita pungkiri bahwa pengaruh ucapan lisan juga ada kesan tersendiri. Akan tetapi di sini, kesan tulisan lebih dalam terasa ketimbang hanya kesan lisan.
5. Dapat dibaca berulangkali
Buku-buku karangan ulama kita kita dahulu sampai sekarang masih kita baca berulangkali. Jika seorang Ibnu Qayyim tidak pernah menulis, maka umurnya mungkin hanya sebatas ketika nafasnya telah berakhir. Akan tetapi, karena beliau menulis, maka pesan dan keluasan ilmu beliau dapat kita menjadi renungan dan kajian buat kita generasi sesudahnya. Buku dapat dibaca berulangkali, walau sang penulis itu telah mati. Bukankah begitu?
6. Karena tidak semua orang bisa dengan kalam
Tidak semua orang berani berceramah di masjid. Di antara yang tidak berani itu ada yang karena faktor tidak percaya diri, grogi, salah tingkah, pemalu, atau pernah mengalami trauma gara-gara dilecehkan saat berceramah. Tidak semua orang bisa berkata-kata di depan publik, maka menulis adalah satu salah kiat sukses kita untuk tetap berdakwah walau tidak berada langsung di depan manusia. Jika tidak bisa dengan kalam (bicara), maka pakailah qalam (pena)!
7. Salah satu senjata melawan ghazwul fikri
Tulisan adalah salah satu senjata untuk melawan musuh-musuh agama yang melancarkan ghazwul fikri, perang pemikiran. Apakah ghazwul fikri itu? Luthfi Bashori, ulama dari Malang yang pernah menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah mengartikan sebagai ”Aksi perang non fisik yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dengan tujuan memurtadkan umat Islam dari agamanya.”

Oleh Yanuardi Syukur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar